Mana Yang Lebih Utama, Puasa Atau Berbuka Dalam Safar?

Pertanyaan

Siapa yang mengadakan perjalanan di siang hari Ramadhan, mana yang lebih baik baginya, berbuka atau melanjutkan puasanya?

Jawaban

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.

Imam mazhab yang empat, demikian pula mayoritas para sahabat dan tabi’in berpendapat bahwa puasa dalam perjalanan adalah boleh, sah dan benar. Juga mendapatkan pahala.’

Lihat; almausu’ah al fiqhiyyah, jilid; 28/ 73.

Adapun mana yang lebh baik, puasa atau berbuka? rinciannya adalah sebagai berikut.

Pertama, jika puasa dan berbuka sama saja keadaannya (sama-sama mudah dilakukan), artinya puasa tak mempengaruhi kondisi tubuhnya, maka pada saat itu berpuasa lebih utama.

Dalilnya adalah:

1). Abu Darda’ radhiallahu anhu meriwayatkan, ‘Kami pernah mengadakan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam suasana yang sangat terik. Bahkan salah seorang dari kami ada yang memayungi kepalanya dengan kedua tangannya lantaran panas yang sangat membakar kulit. Tiada yang berpuasa dari kami kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2). Puasa lebih cepat untuk menggugurkan kewajiban, karena dengan puasa qadha’ justru memperlambatnya. Menunaikan puasa, berarti melaksanakan kewajiban dengan sesegera mungkin.

3). Puasa lebih mudah dirasakan bagi seorang mukallaf daripada harus mengqadha’nya. Sebab berpuasa dan berbuka dengan banyak orang lebih ringan daripada harus mengqadha’nya seorang diri.

4). Bahwa tetap berpuasa, itu artinya melaksanakan kewajiban di bulan yang lebih mulia. Karena Ramadhan lebih mulia daripada bulan-bulan lainnya. Dan asal diwajibkannya puasa adalah di bulan itu.

Dari berbagai dalil di atas, yang lebih rajih (kuat) adalah pendapat imam Syafi’i rahimahullah, bahwa puasa lebih baik bagi musafir yang untuknya berbuka dan puasa sama saja (mudah pelaksanaannya).

Kedua, berbuka lebih sesuai untuknya. Dalam keadaan seperti ini berbuka lebih utama. Jika di sebagian waktu puasa memberatkannya, maka baginya puasa hukumnya makruh. Karena mengambil amal yang memberatkannya padahal syari’at telah memberikan rukhsah (keringanan) untuknya, maka ia telah mengabaikan keringanan dari Allah Ta’ala.

Ketiga, jika keadaan sangat memberatkannya, dan sulit untuk melaksanakannya, maka pada saat itu puasa menjadi haram baginya.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar (dari Madinah) menuju Mekkah untuk menaklukan kota Mekkah. Peristiwa ini terjadi di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga sampai di Kura’ al Ghamim, maka manusia berpuasa bersamanya. Lalu beliau minta diambilkan bejana yang berisi air. Lalu beliau mengangkat bejana tersebut agar manusia melihatnya, kemudian beliau minum air dari bejana tersebut. Dilaporkan kepada beliau bahwa sebagian manusia tetap berpuasa. Lalu beliau bersabda, “Mereka telah bermaksiat. Mereka telah bermaksiat.”

Dalam riwayat lain disebutkan, dilaporkan kepada beliau bahwa sebagian orang telah merasa payah dengan tetap meneruskan puasanya. Mereka hanya melihat beliau berbuka tapi mereka tetap meneruskan puasanya. Lalu beliau minta diambilkan bejana berisi air (untuk kedua kalinya) setelah Ashar.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memandang orang yang tetap berpuasa dalam keadaan payah sebagai orang yang bermaksiat. Lihat; syarh al mumti’, syekh Utsaimin, 6/ 355.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Mulai Konsultasi
Assalamualaikum, Ada yang bisa kami bantu?