Meninggalkan Pekerjaan Yang di Dalamnya Terdapat Maksiat
Pertanyaan :
Sebagian manusia tidak setuju keputusan sebagian orang yang meninggalkan pekerjaan yang di dalamnya terdapat perbuatan maksiat dan yang diharamkan, dan menuduh mereka tergesa-gesa, membinasakan diri sendiri, dan tidak mendapatkan pekerjaan, apakah rizki di tangan mereka ?
Jawaban :
Semua rizki berbeda di tangan Allah Subhanahu Wata’ala. Bisa saja tindakannya meninggalkan maksaiat menjadi penyebab datangnya rizki, karena firman Allah Subhanahu Wata’ala,
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.. (QS.Ath-Thalaq :2-3)
Rizki dari Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan bisa didapatkan karena kemaksiatan kecuali atas dasar istidraj (memperdaya/memberikan tempo). Apabila anda melihat seseorang yang diberikan Allah rizki yang melimpah kepadanya, sedangkan dia tetap melakukan maksiat, maka ini adalah istidraj dari allah kepadanya, karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam KitabNya,
Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS. Hud :102)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memberikan tempo kepada orang yang zhalim, hingga apabila Allah menurunkan adzab-Nya, Dia tidak akan melepaskannya. Lalu beliau membacakan ayat ini,
Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS. Hud :102)
Adapun ucapan orang yang mengatakan bahwa ini adalah tindakan tergesa-gesa dan membinasakan diri sendiri, sebenarnya hal ini tidak bisa kita katakan tergesa-gesa atau tidak tergesa-gesa hingga kita melihat kondisi orang yang lari dari pekerjaan; apakah dia bisa tetap bekerja disertai sifat sabar atau tidak bisa sabar, sehingga keluar dari pekerjaannya. Apabila ia bisa sabar dan mengharapkan pahala terhadap gangguan yang di dapatnya, apalagi dalam perkara-perkara penting seperti seorang tentara misalnya, maka dia wajib untuk tetap bersabar. Dan jika itu tidak mungkin lalu dipaksa keluar, maka dosa atas orang yang mengeluarkannya.
(Fatwa Mu’ashirah, hal,61 Syaikh Ibn Baz)