Bahaya Laten Cerai
Saat seseorang memutuskan masuk ke dalam gerbang pernikahan, hatinya bertekad hidup bersama pasangannya sampai akhir hayat. Saat kedua pasangan diikat oleh akad pernikahan dan resmi menjadi suami istri maka tekadnya terucap, “Hanya maut yang memisahkan kita.” Begitu ungkapan sebagian dari mereka mewakili yang lainnya. Bahkan lebih dari itu, bila Allah berkenan, ada harapan persatuan ini berlangsung sampai di akhirat kelak, sehingga bisa menikmati kehidupan surga bersama-sama.
Namun tekad, niat, keinginan tidak selalu bisa diwujudkan, tidak selamanya angin berhembus ke arah yang diinginkan oleh bahtera, tidak setiap pasangan mampu mempertahankan keutuhan biduk rumah tangganya. Terkadang keadaan memaksa seseorang harus kehilangan pasangannya karena memang harus berpisah bukan karena wafat. Ada kondisi atau situasi tertentu yang membuat rumah tangga tidak mungkin diteruskan dan terkadang berpisah dianggap sebagai jalan terbaik daripada bila diteruskan keadaan semakin carut-marut tak karuan.
Bila pernikahan ibarat bahtera yang ditumpangi bersama, maka musuh utamanya adalah karang terjal yang bila tertabrak maka bahtera tersebut akan pecah dan karam, dan karang tersebut adalah cerai. Bila rumah tangga diumpamakan bangunan yang dibangun oleh suami istri maka cerai adalah kapak pendongkel bata demi bata bagi dinding rumah dan selanjutnya adalah kehancuran.
Dari sini maka suami istri patut mewaspadai bahaya laten cerai, sikap waspada ini adalah dengan memahami bahwa ada beberapa perkara yang bisa menjadi ancaman bagi keutuhan rumah tangganya. Sifat, watak, perilaku, pemahaman agama, gaya hidup bahkan mungkin orang ketiga. Semua itu bisa memicu perselisihan yang bermuara kepada terucapnya kata talak oleh suami atau pemintaan istri untuk itu.
Tidak ada rumah tangga tanpa masalah, tidak ada keluarga bebas dari perbedaan, saat Anda berupaya mencari jalan keluar dari masalah tersebut, singkirkan alternatif solusi cerai jauh-jauh, bahkan ceraikan dulu kata ini, jangan dimasukkan ke dalam benak, bila ia mencoba menyusup, maka usir dengan cepat dan sejauh-jauhnya. Persoalan dalam rumah tangga ibarat penyakit pada tubuh, pasti ada obatnya selain mati, dan sebuah penyakit tidak mengharuskan amputasi selama masih ditangani dengan cara yang lebih ringan, hal yang sama berlaku dalam menghadapi persoalan rumah tangga.
Menanamkan pemahaman semacam ini akan membuat Anda sebagai suami atau istri bersikap lebih berhati-hati dalam bermuamalah dengan pasangan, menimbang diri dalam memperlakukan pasangan, sehingga apa yang lahir dari diri Anda tidak memicu persoalan yang bisa membuat Anda harus berkata cerai atau pasangan menuntutnya dari Anda. Tanamkan bahwa pernikahan dengan segala persoalannya merupakan nikmat yang patut dijaga dan hindari penyakit cerai yang mematikan.
Dalam kaitan ini penting bagi setiap pasangan, suami atau istri, mawas diri, jangan sampai, sadar atau tidak sadar, menjadi kapak penghancur rumah tangganya sendiri, menata sifat dan perilaku sehingga tidak memicu kekecewaan pasangannya, membuat pasangannya tidak suka, sifat amarah berlebihan dan tidak pada tempatnya, pencemburu buta lagi berat, malas dalam memenuhi tanggung jawab atau tidak ada sama sekali, tidak taat kepada suami, memperlakukan istri secara zhalim, gemar berbuat dosa, ini merupakan sebagian dari sifat-sifat yang memicu pertikaian yang bisa mengarah kepada perceraian.
Perlu juga pasangan suami istri melihat dan mencermati keluarga lain guna mengambil pelajaran darinya. Perhatikan sebagian keluarga yang tidak memiliki saling pengertian, tidak saling mempercayai atau keluarga tanpa penopang agama yang kokoh, sehingga kehidupannya ramai oleh pertikaian, suami istri selalu gontok-gontokan dan tonjok-tonjokan. Renungkanlah apa yang membuat keluarga tersebut demikian? Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain. Dengan itu Anda akan menyadari betapa nikmatnya keluarga yang serasi dan selaras sekaligus terdorong untuk mempertahankannya berapa pun ongkos taruhannya.
Apakah Anda tidak berbahagia saat istri Anda berbisik lembut, “Semoga kita selalu bersama ya Mas?” Apakah Anda tidak berbahagia saat Anda mengucapkannya kepada suami lalu suami menganggukkan kepala dan selanjutnya memeluk dan mencium Anda.