Langkah-langkah Talak
Sesungguhnya talak atau perceraian itu adalah sesuatu yang tidak disukai Allah, dan Allah telah menetapkan berbagai cara agar perceraian dapat dihindarkan dan tidak terjadi. Di antara cara-cara yang seharusnya ditempuh untuk menghindari terjadinya perceraian itu adalah:
Nasihat dan teguran dengan cara yang baik apabila terjadi kles atau perselisihan di antara suami dan istri.
Setelah itu menjaga jarak dari istri ketika tidur di kasur.
Lalu berpindah pada hukuman fisik (yang tidak membahayakan).
Kemudian membentuk semacam pengadilan keluarga yang berupaya menghilangkan kekacauan, mengembalikan hati mereka kepada kejernihan berfikir dan kasih sayang.
Lebih dari itu, apabila semua upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya perceraian dan agar masing-masing suami dan istri mempunyai kesempatan untuk introspeksi diri sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi yang kemungkinan sesudah itu tidak ada pertemuan lagi, maka Islam menetapkan talak itu dilakukan secara bertahap melalui langkah-langkah berikut:
Langkah pertama, dan inilah yang sunnah, yaitu mencerai istri satu kali (talak satu) pada waktu istri suci sesudah haid dan tidak terjadi hubungan seks pada waktu itu. Pada talak ini suami boleh merujuk istrinya kembali dan mempergaulinya sebagaimana lazimnya suami istri tanpa akad, tanpa mahar dan tanpa saksi. Hal ini berlaku selagi sang istri masih dalam masa ‘iddah.
Kalau suami tidak menyatakan akan merujuk istrinya hingga masa ‘iddah habis, maka talak di atas menjadi talak ba’in. Artinya, sang suami tidak boleh merujuk istrinya kecuali kalau sang istri rela dan harus dilakukan dengan mahar dan akad ulang.
Langkah kedua, Apabila istri telah kembali kepada suaminya sesudah talak yang pertama, kemudian terjadi lagi perselisihan di antara mereka berdua, maka di sinilah langkah kedua di jalankan. Yaitu dimulai dengan upaya ishlah dan berdamai di antara mereka sebagai langkah lain untuk mengembalikan kedamaian dan rasa kasih-sayang. Lalu apabila berbagai upaya sudah tidak membuahkan hasil positif sebagaimana dikehendaki, maka talak harus dilakukan.
Sunnahnya pada langkah ini adalah menceraikannya dengan talak satu pada saat suci sesudah haid dan tidak terjadi hubungan jima’ pada waktu suci tersebut. Hal itu untuk memberikan kesempatan kepada keduanya untuk kedua kalinya, barangkali masing-masing berfikir akan efek-efeknya kalau terjadi perceraian, dan masing masing merenung apa yang akan terjadi kalau mereka berdua tidak berdamai dari perselisihan sesudah talak yang kedua ini mempunyai konsekwensi hukum sebagaimana pada talak yang pertama. Dengan arti lain, bahwasanya kalau sang suami hendak merujuk istrinya sesudah talak kedua ini, maka boleh ia lakukan tanpa mahar, tanpa akad dan juga tanpa saksi selagi sang istri masih dalam masa ‘iddah. Dan kalau masa ‘iddah berlalu, sang suami boleh merujuk istrinya namun dengan syarat sang istri menyetujui, dengan mahar dan akad baru.
Langkah ketiga, apabila sang istri telah kembali kepada sang suami sesudah talak kedua, lalu terjadi lagi pertikaian dan semua upaya pun telah dilakukan untuk islah, namun tidak berguna dan talak adalah solusi terakhir yang paling baik untuk mengakhiri konflik, maka sang suami melakukan talak satu kali sesudah suci dari haid dan tidak terjadi hubungan jima’ pada masa itu. Maka perceraian yang terjadi menjadi talak ba’in, tidak boleh dirujuk kecuali kalau istri menikah secara sah dengan lelaki lain sesudah masa ‘iddahnya berlalu, kemudian lelaki tadi menceraikannya. Maka, suami yang pertama boleh merujuk mantan istri itu berdasarkan persetujuannya dengan akad ulang dan mahar baru serta adanya saksi.