Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat, dimana seorang muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang muslim. Dusta yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا
Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya).Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رَخَّصَ -النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu: ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas, apakah dusta pada ketiga hal ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa dikatakan berdusta.Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:
Ada orang zalim yang mencari dan mengejar seseorang untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang yang sedang duduk. Kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada orang yang duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat seorang pun lewat di depan saya.”Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.
Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan fiqh kedua hadits tersebut di dalam kitab beliau ‘Ash-Shahiihah’, “Tidak samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama (yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir dari hadits-hadits. Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa kedustaan pada hadits tersebut kepada tauriyah maka tidaklah samar bahwa hal tersebut sangat jauh (dari kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, Al-Hafidzh (Ibnu Hajar Al-‘Asqalanaani) mengatakan di dalam kitabnya ‘Al-Fath’ (VI/119), “An-Nawawi mengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah) itu lebih utama.”