Dzikir di setiap Keadaan

Dzikir disyariatkan dalam setiap keadaan. Allah ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُم

“Ingatlah Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring.” (Qs. An-Nisaa’: 103)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu pada seluruh keadaan kalian.” (Tafsiir Ibnu Katsir, 1/521.)

Akan tetapi, hal ini dikecualikan dalam dua keadaan:

Pertama : Ketika buang hajat

Kedua: Ketika bersenggama dengan istri

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Dibenci berdzikir kepada Allah sedangkan ia sedang buang hajat atau sedang bersenggama dengan istrinya. Allah itu Maha Mulia, maka harus dimuliakan.“(HR Ibnu Abi Syaibah No. 1220)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Akan tetapi disyari’atkan berdzikir sebelum dan sesudah buang hajat. Demikian pula disyariatkan ketika akan bersenggama. Bukan saat buang hajat atau ketika bersenggama.”(Al-Wabilush Shayyib,hal.82)

Kaidah 3: Dzikir Dalam Keadaan Suci

Tidak disyaratkan thaharah (suci dari hadats) untuk berdzikir. Akan tetapi dzikir dalam keadaan suci adalah lebih utama.

Dalil bolehnya berdzikir dalam keadaan tidak suci adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang berbunyi:

كان النبيّ يذكر الله على كلّ أحيانه

“Adalah Nabi berdzikir kepada Allah disetiap keadaan.” (HR. Muslim No. 373)

Adapu hadits yang berbunyi, “Sungguh aku benci untuk berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.”(HR. Abu Dawud No. 17, Ibnu Majah No. 350, an-Nasaa-i [I/37]. Dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahiihah No. 843).

Hadits ini hanya menunjukkan keutamaan saja, bukan berarti orang yang tidak suci tidak boleh berdzikir.

Imam Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini sangat jelas, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam benci untuk berdzikir kecuali dalam keadaan suci. Yang demikian itu karena berdzikir dalam keadaan suci adalah lebih utama. Bukan berarti hadits ini berisi larangan bahwa seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci adalah tidak boleh. Sebab, Rasulullah selalu berdzikir dalam setiap keadaan.” (Shahih Ibni Hibban, 2/88)

(Syarh Hisnul Muslim minal Adzkaaril Kitaab was Sunnah: Adzkaarush Shabaah wal Masaa’)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Mulai Konsultasi
Assalamualaikum, Ada yang bisa kami bantu?