Dzikir dengan merendahkan suara
Hukum asal dalam berdzikir yaitu dengan tidak mengeraskan suara. Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (Nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS Al-A’raf: 205)
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hukum asal dalam berdzikir adalah dengan merendakan suara. Sebagaimana ditegaskan dalam Alqur’an dan As-Sunnah, kecuali (jenis dzikir) yang dikecualikan.” (Ash-Shahiihah, 7/454)
Dikecualikan dalam hal ini, yaitu bolehnya berdzikir dengan mengeraskan suara pada beberapa keadaan sebagaimana dalil-dalil yang telah ada. Diantaranya adalah:
1. Ketika adzan dan iqomah.
2. Ketika bertakbir pada dua hari raya.
3. Ketika bertalbiyah saat haji dan umroh.
4. Ketika membaca do’a setelah shalat witir. Yaitu ucapan ‘Subhaanal Malikil Qudduus’. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengeraskan dan memanjangkan suara pada kali yang ketiga.
5. Ketika mengucapkan hamdalah saat bersin dan menjawabnya dengan “Yarhamukallah”.
6. Ketika mendoakan keberkahan bagi kedua mempelai yang telah menikah. Yaitu do’a “Baarakallahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a baynakumaa fii khaiir.”
7. Ketika mengucapkan dan menjawab salam.
Inilah diantara beberapa tempat yang disyariatkan untuk mengeraskan suara dalam berdzikir. Wallahu a’lam. (Syarh Hisnul Muslim minal Adzkaaril Kitaab was Sunnah: Adzkaarush Shabaah wal Masaa’).